Sunday, 14 September 2014

Menapak Tengah Tahun



REFLEKSI
“Those things that hurt, instruct”-“Hal-hal yang melukai, mengajar” – Benjamin Franklin

Enam bulan sudah lima pasang kaki menapak tanah Sikakap. Semakin banyak yang menjadi pembelajaran dalam episode kami sebagai Pencerah Nusantara. Enam bulan lagi yang tersisa. Satu per satu aksi nyata telah coba kami mulai. Aksi  yang menguji kelapangan hati kami untuk tetap menundukkan wajah, malu atas masih sedikitnya momentum yang kami buat dibanding banyaknya peluang yang kami hadapi.
Satu demi satu masalah tampak terbuka lebih jelas di depan mata kami pun menguji kami untuk tidak lantas menyalahkan situasi melainkan berpikir untuk sebuah aksi nyata demi sebuah kata PERUBAHAN. Kondisi mengajarkan kami untuk berbuat tanpa merasa menjadi pihak paling benar. Kondisi yang menuntut kami untuk berpikir tanpa merasa menjadi sisi yang paling tahu segalanya.
Sebagai warga pendatang, adalah tantangan yang kami sadar untuk kami maklumi atas segala adat, kebiasaan, budaya, keyakinan, dan berbagai pola pikir masyarakat sebagai satu kesatuan bola salju atas berbagai permasalahan yang nyata disini.
Enam bulan, cukup membuat kami malu. Malu atas berbagai hal yang kami sebut sebagai masalah  saat awal penempatan. Malu atas sedikit rasa jijik yang muncul saat melihat anak berbadan kecil, berambut pirang bukan karena gen yang dibawanya, tapi mungkin karena sengatan  matahari, kulit kehitaman tampak bersisik dan belepotan kotor tanah liat, berjalan tanpa sandal, memikul keranjang di punggung kecilnya, menatap nanar kami seperti meminta belas kami dalam tawa mereka. Malu saat dulu kami mengatakan diri kami sebagai pecinta anak-anak, tapi merasa risih untuk menyentuh mereka. Dan hingga enam bulan ini, kami belum mampu mengubah  pola hidup mereka dikala mereka seharian tanpa ayah ibu karena bekerja di ladang. Kami pun  tak mampu mengatakan mereka berpola hidup salah.
Enam bulan yang membuat kami malu atas  masih tersianya seorang anak berusia 2 tahun bernama Rusti yang masih belum mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana seharusnya, “hanya” karena sikap orang tua yang “pasrah” dengan kondisi jauh dari semestinya.
Enam bulan yang membuat kami sadar pula, bahwa kami hanya ingin membuka mata masyarakat di tanah rantau ini, memperkenalkan dunia pada mereka, memperlihatkan keindahan dunia mereka jika sama-sama menjaganya. Memantik api semangat untuk orang-orang yang memang layak menjadi perpanjagan tangan Negara untuk mempertemukan peluang dan momentum untuk sebuah perubahan nyata menjadi masyarakat yang lebih sadar kesehatan.
Enam bula pula yang menjadikan lima hati semakin mengenal, semakin meminta untuk saling memahami kegilaan masing-masing. Ya. Menyadari sebagai orang-orang gila yang hadir untuk membaca situasi, mencoba menggambarkan dalam kanvas keindahan, kemudian menatanya menjadi satu  ruang dalam kehidupan yang lebih tertata. Orang-orang gila yang meninggalkan zona nyaman untuk sebuah kondisi yang menuntut kami untuk membaca saat berjalan, menulis saat menyusur sungai, melukis saat menyelami lautan.
Kami mulai ‘biasa’ dengan jalan tanpa aspal, menembus lautan 12 jam, berjalan di medan terjal bahkan  harus menjadi “biasa” pula bagi kami  saat setiap kegiatan posyandu bulanan puskesmas yang kami ikuti, tak jarang menemui bayi-bayi yang hampir kehilangan haknya untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana semestinya, bukan sebagaimana biasanya dalam persepsi orang tua mereka. Tak jarang pula kami temui, anak-anak balita yang mesti mengikuti “keegoisan” orang tua mereka, kesibukan berladang, rutinitas kehidupan dan penghidupan, serta realita pola asuh yang hanya bisa kami tatap, yang sedikit banyak mulai menjadikan kami gerah. Gerah untuk “sekedar” memberi penyuluhan bayi sehat, penyuluhan makanan sehat untuk anak berdasar sumber daya local, sekedar “memohon” kepada orang tua untuk memeriksakan lebih lanjut anaknya yang gizi buruk atau bahkan anak-anak dengan Development Delay Syndrome yang harus dijudge oleh orang tua mereka sebagai hal “biasa” pun jika kematian menjadi akhir cerita untuk mereka. Berkali-kali menjelaskan, memohon, dan menawarkan, pun berkali-kali tak diindahkan untuk dikabulkan. Sebatas itu pula ruang gerak kami untuk menyentuh mereka..  Namun,  “biasa” ini belum cukup menjadikan kami terbiasa dengan segala kondisi dan kinerja rekan sasaran. “Biasa” yang belum cukup membiasakan kami untuk bertindak “memodifikasi” arus,  bukan mengikuti maupun melawan arus yang kami temui.
Kami sadar betul, bahwa meski kami bisa “memperbaiki” segala keadaan dengan kemampuan kami, namun bukan itu yang kami inginkan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap permasalahan yang ditemui, kepedulian lintas sector dalam setiap kendala yang dihadapi dalam mencapai komunitas yang sejahtera, serta berbagai tahap pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, adalah sebuah keniscayaan bagi kami, selama kami bertahan untuk mengupayakan pengorganisasian dua arah, ring 1-Puskesmas, dan ring 2-masyarakat. Doakan negeri ini agar lebih banyak yang mau #turuntangan.



No comments:

Post a Comment