Di tengah tumpukan sejumlah
laporan akhir yang sepertinya sudah mulai transfering
ke otak, di tengah angka-angka yang sepertinya mulai membayangi analis survey
tim kami, Minggu menjadi hari yang cukup “berarti” untuk dokter kami. Seorang
pasien yang beberapa hari lalu sempat pulang APS (Atas Permintaan Sendiri)
alias pulang paksa, istilah bagi tenaga medis untuk pasien yang meminta pulang
sebelum diijinkan dokter untuk meninggalkan rawat inap. Ia seorang lelaki paruh
baya 40 tahunan, terdiagnosa CKD (Chronic
Kidney Desease) dengan encephalophaty, pastinya berdasarkan temuan klinis -
tentu saja karena disini tak ada pemeriksaan penunjang apapun yang bisa
dilakukan untuk menegakkan diagosa. Kondisi pasien yag gelisah, marah-marah,
napas tampak tersengal-sengal, sianosis (pucat), memungkinkan pasien mengalami
asidosis-kondisi dikarenakan ketidakseimbangan elektrolit dalam darah.
Permasalahan klinis yang sebenarnya sangat mudah ditangani, hmm.., setidaknya
kemungkinan teratas sangat besar jika di tempat lengkap fasilitas.
Hemodialisis. Alias cuci darah, cukup satu tindakan utama untuk pasien bisa
bertahan. Sayangnya, hari ini Minggu di Bulan September, kapal yang
biasanyadatang 2x seminggu hari ini tidak masuk karena mulai bulan ini hanya
masuk satu kali seminggu, hari Rabu. Mungkin pasien ini yang kurang beruntung,
karena kondisi perburukan tepat hadir di hari ini. Hari yang membuatnya tak
bisa dirujuk kemanapun kecuali tersedia minimal Rp 10 juta untuknya bisa
dirujuk dengan boat mandiri. Tak ada yang bisa disesalkan, karena memang begini
kondisinya. Andai bukan di Mentawai, tubuhnya mungkin tak akan mudah berdarah
akibat asidosis dengan ureum creatinin yang mungkin sudah melewati ambang
batas. Advis konsulan untuk memberinya CaCo3 dan folic acid pun kami tak punya.
Jika bukan di Mentawai, mungkin pasien tak perlu begitu menderita karena anoreksia
dan segala gejala klinis yang muncul. Jika bukan di Mentawai, mungkin asidosis
nya tak begitu berat karena tindakan HD atau CAPD bisa langsung dilakukan. Jika
bukan di Mentawai...
Wajah kusut dokter kami, di
tengah rehatnya untuk makan siang (sekaligus sarapan bagi kami), sangat tampak
memperagakan bagaimana pasien bernapas saat ini. Ia hanya menyesalkan situasi
yang membuatnya tak bisa berbuat apapun kecuali menunggu waktu. Menyesalkan
konsulen yang tak bisa dihubungi, mungkin masalah signal, menyesalkan
obat-obatan yang tak semuanya tersedia untuk setidaknya mengurangi perburukan
sambil menunggu persentase kemungkinan merujuk pasien bertambah meski berapa
persen saja. Mungkin juga menyesalkan
diri yang belum mampu membantu pasien untuk menambah dzikrullah. Ya.. ini yang
ingin saya hikmahkan dalam tulisan ini. Dalam situasi biasa, mungkin hal ini
menjadi biasa untuk tidak begitu memperhatikan QOL (Quality of Life) pasien. Disini, pasien dengan agama Islam, adalah
saudara kami dalam kalangan minoritas. Dan adalah keinginan besar kami sebagai
saudara seiman yang mengharapkan keimanan menjadi akhir dari hidupnya. Dokter
kami tak berhasil membuatnya beristigfar. Pasien hanya mengerang kesakitan dan
mengeluh di tengah kondisi perburukannya. “Yang membuat saya miris tu, betapa
pasien di sampingnya ramai dikunjungi
dan didampingi anak-anaknya, sementara ia... hanya berdua dengan istrinya.
Rasanya ingin meminta istri ini untuk istirahat karena 4 hari tak bisa
istirahat dengan kondisi suaminya di rumah” Ungkap dokter kami dalam ekspresi
khasnya, mengelus dada dan menelan ludah.
Ya, di luar kondisinya yang
demikian memburuk, saya juga baru sadar hari ini tak seperti biasanya.
Puskesmas Sikakap, biasanya langsung penuh dengan orang se dusun jika ada
warganya yang dirawat. Bahkan berita kematian pernah beredar sebelum pasien
dinyatakan meninggal, demikian kuatnya persaudaraan muslim saat itu saya lihat.
Tapi tidak hari ini. Saya tak melihat seorang pun mengunjunginya kecuali sang
istri yang wajahnya mulai seperti bingung menghadapi kondisi suami.
Anak-anaknya yang masih sekolah di luar pulau, dan ia yang masih menjadi tulang
punggung keluarga. Kini, dokter kami hanya berharap yang terbaik. Tanpa
treatment yang berarti, tentunya dengan harapan ia dipermudah jika memang
kondisi sekarang karena kesalahan selama hidupnya, seperti di ceritakan
tetangga setempat yang kurang berkenan.
Sungguh, ini membuat tamparan
untuk kami. Bahwa semapan apapun, segigih apapun kita hidup, suatu hari kita
akan terbaring tak berdaya, hanya mengharapkan bantuan dan doa dari tetangga,
masyarakat, saudara. Mungkin ini yang ustadz sering katakan, perbaiki ibadah
dalam hubungan hablumminallah, dan baik-baiklah bermmasyarakat untuk hubungan
hablumminannas...
Semoga Allah masih menyisihkan
kasih-Nya untuk pasien, dimudahkan menuju taqdirnya yang terbaik.
Bumi Sikakap, 7 September 2014,
23 hari menuju perpisahan itu.
No comments:
Post a Comment