Wednesday 17 September 2014

Andai Bukan Disini..... Sikakap, the City of Mentawai



Di tengah tumpukan sejumlah laporan akhir yang sepertinya sudah mulai transfering ke otak, di tengah angka-angka yang sepertinya mulai membayangi analis survey tim kami, Minggu menjadi hari yang cukup “berarti” untuk dokter kami. Seorang pasien yang beberapa hari lalu sempat pulang APS (Atas Permintaan Sendiri) alias pulang paksa, istilah bagi tenaga medis untuk pasien yang meminta pulang sebelum diijinkan dokter untuk meninggalkan rawat inap. Ia seorang lelaki paruh baya 40 tahunan, terdiagnosa CKD (Chronic Kidney Desease) dengan encephalophaty, pastinya berdasarkan temuan klinis - tentu saja karena disini tak ada pemeriksaan penunjang apapun yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagosa. Kondisi pasien yag gelisah, marah-marah, napas tampak tersengal-sengal, sianosis (pucat), memungkinkan pasien mengalami asidosis-kondisi dikarenakan ketidakseimbangan elektrolit dalam darah. Permasalahan klinis yang sebenarnya sangat mudah ditangani, hmm.., setidaknya kemungkinan teratas sangat besar jika di tempat lengkap fasilitas. Hemodialisis. Alias cuci darah, cukup satu tindakan utama untuk pasien bisa bertahan. Sayangnya, hari ini Minggu di Bulan September, kapal yang biasanyadatang 2x seminggu hari ini tidak masuk karena mulai bulan ini hanya masuk satu kali seminggu, hari Rabu. Mungkin pasien ini yang kurang beruntung, karena kondisi perburukan tepat hadir di hari ini. Hari yang membuatnya tak bisa dirujuk kemanapun kecuali tersedia minimal Rp 10 juta untuknya bisa dirujuk dengan boat mandiri. Tak ada yang bisa disesalkan, karena memang begini kondisinya. Andai bukan di Mentawai, tubuhnya mungkin tak akan mudah berdarah akibat asidosis dengan ureum creatinin yang mungkin sudah melewati ambang batas. Advis konsulan untuk memberinya CaCo3 dan folic acid pun kami tak punya. Jika bukan di Mentawai, mungkin pasien tak perlu begitu menderita karena anoreksia dan segala gejala klinis yang muncul. Jika bukan di Mentawai, mungkin asidosis nya tak begitu berat karena tindakan HD atau CAPD bisa langsung dilakukan. Jika bukan di Mentawai...
Wajah kusut dokter kami, di tengah rehatnya untuk makan siang (sekaligus sarapan bagi kami), sangat tampak memperagakan bagaimana pasien bernapas saat ini. Ia hanya menyesalkan situasi yang membuatnya tak bisa berbuat apapun kecuali menunggu waktu. Menyesalkan konsulen yang tak bisa dihubungi, mungkin masalah signal, menyesalkan obat-obatan yang tak semuanya tersedia untuk setidaknya mengurangi perburukan sambil menunggu persentase kemungkinan merujuk pasien bertambah meski berapa persen saja.  Mungkin juga menyesalkan diri yang belum mampu membantu pasien untuk menambah dzikrullah. Ya.. ini yang ingin saya hikmahkan dalam tulisan ini. Dalam situasi biasa, mungkin hal ini menjadi biasa untuk tidak begitu memperhatikan QOL (Quality of Life) pasien. Disini, pasien dengan agama Islam, adalah saudara kami dalam kalangan minoritas. Dan adalah keinginan besar kami sebagai saudara seiman yang mengharapkan keimanan menjadi akhir dari hidupnya. Dokter kami tak berhasil membuatnya beristigfar. Pasien hanya mengerang kesakitan dan mengeluh di tengah kondisi perburukannya. “Yang membuat saya miris tu, betapa pasien di sampingnya  ramai dikunjungi dan didampingi anak-anaknya, sementara ia... hanya berdua dengan istrinya. Rasanya ingin meminta istri ini untuk istirahat karena 4 hari tak bisa istirahat dengan kondisi suaminya di rumah” Ungkap dokter kami dalam ekspresi khasnya, mengelus dada dan menelan ludah.
Ya, di luar kondisinya yang demikian memburuk, saya juga baru sadar hari ini tak seperti biasanya. Puskesmas Sikakap, biasanya langsung penuh dengan orang se dusun jika ada warganya yang dirawat. Bahkan berita kematian pernah beredar sebelum pasien dinyatakan meninggal, demikian kuatnya persaudaraan muslim saat itu saya lihat. Tapi tidak hari ini. Saya tak melihat seorang pun mengunjunginya kecuali sang istri yang wajahnya mulai seperti bingung menghadapi kondisi suami. Anak-anaknya yang masih sekolah di luar pulau, dan ia yang masih menjadi tulang punggung keluarga. Kini, dokter kami hanya berharap yang terbaik. Tanpa treatment yang berarti, tentunya dengan harapan ia dipermudah jika memang kondisi sekarang karena kesalahan selama hidupnya, seperti di ceritakan tetangga setempat yang kurang berkenan.
Sungguh, ini membuat tamparan untuk kami. Bahwa semapan apapun, segigih apapun kita hidup, suatu hari kita akan terbaring tak berdaya, hanya mengharapkan bantuan dan doa dari tetangga, masyarakat, saudara. Mungkin ini yang ustadz sering katakan, perbaiki ibadah dalam hubungan hablumminallah, dan baik-baiklah bermmasyarakat untuk hubungan hablumminannas...
Semoga Allah masih menyisihkan kasih-Nya untuk pasien, dimudahkan menuju taqdirnya yang terbaik.

Bumi Sikakap, 7 September 2014, 23 hari menuju perpisahan itu.

No comments:

Post a Comment