Pertengahan
Januari 2014, yang berarti tersisa 7 bulan aktif bagi kami untuk menuai sesuatu
di bumi Sikerei. Belum banyak yang kami lakukan, belum banyak pula yang bisa
kami tinggalkan. Mungkin, kami terlalu disibukkan dengan berbagai kompromi
terhadap jati diri yang tak semestinya kami jadikan excuse dalam setiap kelalaian dalam berencana dan bertindak. Mungkin…
memang kami yang belum mampu merangkul target kerja, atau target kerja yang
belum mampu menjadikan kami sedekat vena
jugularis. Yang pasti, memasuki bulan ke-empat, maka Puskesmas, UGD, pasar,
medan perairan dan boat, medan terjal dan motor, satu per satu sudah mulai menjadi sahabat
kami dalam menjalani kehidupan, menjadi hal “biasa” bagi kami. Mulai menjadi
hal wajar yang tak terhitung bagi kami para pemuda/i yang mencoba menamai diri
orang-orang gila yang keluar dari zona nyaman kami masing-masing. “Biasa” yang
belum cukup menjadikan kami terbiasa dengan segala kondisi dan kinerja rekan sasaran.
“Biasa” yang belum cukup membiasakan kami untuk bertindak “memodifikasi”
arus, bukan mengikuti maupun melawan
arus yang kami temui.
Adalah harus
menjadi “biasa” pula bagi kami saat ini, saat setiap kegiatan posyandu bulanan
Puskesmas yang kami ikuti, tak jarang menemui bayi-bayi yang hampir kehilangan
haknya untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana semestinya, bukan sebagaimana
biasanya dalam persepsi orang tua mereka. Tak jarang pula kami temui, anak-anak
balita yang mesti mengikuti “keegoisan” orang tua mereka, kesibukan berladang,
rutinitas kehidupan dan penghidupan, serta realita pola asuh yang hanya bisa
kami tatap, yang sedikit banyak mulai menjadikan kami gerah. Gerah untuk
“sekedar” memberi penyuluhan bayi sehat, penyuluhan makanan sehat untuk anak
berdasar sumber daya local, sekedar “memohon” kepada orang tua untuk
memeriksakan lebih lanjut anaknya yang gizi buruk atau bahkan anak-anak dengan
Development Delay Syndrome yang harus dijudge
oleh orang tua mereka sebagai hal “biasa” pun jika kematian menjadi akhir
cerita untuk mereka. Berkali-kali menjelaskan, memohon, dan menawarkan, pun
berkali-kali tak diindahkan untuk dikabulkan. Sebatas itu pula ruang gerak kami
untuk menyentuh mereka. Kami sadar betul, bahwa meski kami bisa “memperbaiki”
segala keadaan dengan kemampuan kami, namun bukan itu yang kami inginkan.
Keterlibatan masyarakat dalam setiap permasalahan yang ditemui, kepedulian
lintas sector dalam setiap kendala yang dihadapi dalam mencapai komunitas yang
sejahtera, serta berbagai tahap pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan
masyarakat, adalah sebuah keniscayaan bagi kami, selama kami bertahan untuk
mengupayakan pengorganisasian dua arah, ring 1-Puskesmas, dan ring
2-masyarakat. [MH]
Bumi Sikakap
18 Januari 2014,
00:24
No comments:
Post a Comment