Sunday, 14 September 2014

“Sahabat” Mentawai




Pertengahan Januari 2014, yang berarti tersisa 7 bulan aktif bagi kami untuk menuai sesuatu di bumi Sikerei. Belum banyak yang kami lakukan, belum banyak pula yang bisa kami tinggalkan. Mungkin, kami terlalu disibukkan dengan berbagai kompromi terhadap jati diri yang tak semestinya kami jadikan excuse dalam setiap kelalaian dalam berencana dan bertindak. Mungkin… memang kami yang belum mampu merangkul target kerja, atau target kerja yang belum mampu menjadikan kami sedekat vena jugularis. Yang pasti, memasuki bulan ke-empat, maka Puskesmas, UGD, pasar, medan perairan dan boat, medan terjal  dan motor, satu per satu sudah mulai menjadi sahabat kami dalam menjalani kehidupan, menjadi hal “biasa” bagi kami. Mulai menjadi hal wajar yang tak terhitung bagi kami para pemuda/i yang mencoba menamai diri orang-orang gila yang keluar dari zona nyaman kami masing-masing. “Biasa” yang belum cukup menjadikan kami terbiasa dengan segala kondisi dan kinerja rekan sasaran. “Biasa” yang belum cukup membiasakan kami untuk bertindak “memodifikasi” arus,  bukan mengikuti maupun melawan arus yang kami temui.
Adalah harus menjadi “biasa” pula bagi kami saat ini, saat setiap kegiatan posyandu bulanan Puskesmas yang kami ikuti, tak jarang menemui bayi-bayi yang hampir kehilangan haknya untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana semestinya, bukan sebagaimana biasanya dalam persepsi orang tua mereka. Tak jarang pula kami temui, anak-anak balita yang mesti mengikuti “keegoisan” orang tua mereka, kesibukan berladang, rutinitas kehidupan dan penghidupan, serta realita pola asuh yang hanya bisa kami tatap, yang sedikit banyak mulai menjadikan kami gerah. Gerah untuk “sekedar” memberi penyuluhan bayi sehat, penyuluhan makanan sehat untuk anak berdasar sumber daya local, sekedar “memohon” kepada orang tua untuk memeriksakan lebih lanjut anaknya yang gizi buruk atau bahkan anak-anak dengan Development Delay Syndrome yang harus dijudge oleh orang tua mereka sebagai hal “biasa” pun jika kematian menjadi akhir cerita untuk mereka. Berkali-kali menjelaskan, memohon, dan menawarkan, pun berkali-kali tak diindahkan untuk dikabulkan. Sebatas itu pula ruang gerak kami untuk menyentuh mereka. Kami sadar betul, bahwa meski kami bisa “memperbaiki” segala keadaan dengan kemampuan kami, namun bukan itu yang kami inginkan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap permasalahan yang ditemui, kepedulian lintas sector dalam setiap kendala yang dihadapi dalam mencapai komunitas yang sejahtera, serta berbagai tahap pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, adalah sebuah keniscayaan bagi kami, selama kami bertahan untuk mengupayakan pengorganisasian dua arah, ring 1-Puskesmas, dan ring 2-masyarakat. [MH]

Bumi Sikakap
18 Januari 2014, 00:24


No comments:

Post a Comment