Hari ke 18 sepuluh kaki ini menginjak bumi Sikerei. Jiwa dan raga dituntut untuk terus menyatu dengan kehidupan dan penghidupan Kepulauan Mentawai. Sinyal yang belum jelas kapan menjadi normal, hiruk pikuk pasar tiap hari Rabu, mengurus rumah bersama, briefing internal hampir tiap malam, tepetepe (tebar pesona-red) dengan masyarakat setempat, serta berbagai upaya “menjual diri” untuk keberlangsungan hidup. Mungkin, kami mulai terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan ini. Dalam tim Pencerah Nusa Mentawai, kami mulai lebih mengenal satu sama lain, mulai kebiasaan tidur sampai kebiasaan mood. Kami dituntut untuk saling memahami, mulai dari karakter hingga kebiasaan, bukan menjatuhkan melainkan saling mengukuhkan, bukan membuka aib melainkan saling menjaga apa yang memang semestinya bukan menjadi konsumsi umum. Bahwa kami SATU KELUARGA, adalah keniscyaan.
Tanah
Sikakap, dimana setiap hari Rabu kehidupan seperti berpindah ke satu tempat
yaitu pasar, karena di hari itu bahan-bahan makanan fresh masuk bersamaan dengan Gombolo,
kapal lintas selat Mentawai dari Padang yang datang sekali tiap pekan.
Sejenak, pekerjaan rutin kantor bagi ibu-ibu rumah tangga seperti tertunda, pun
kini, kami ikut meramaikan rutinitas ini.
Tanah
Sikakap, yang lebih sering membuat kami roaming
saat ada pasien berobat ke puskesmas karena bahasa Mentawai yang mereka pakai.
Tak jarang kami, terutama dokter PN, membutuhkan seorang penerjemah karena
ketidakmampuan beberapa masyarakat untuk berbahasa Indonesia.
Tanah
Sikakap, yang mengharuskan kami untuk tanggap mengeluarkan ember-ember saat air
hujan karena begitu berharganya air disini. Transportasi penyebrangan dengan boat, sebutan masyarakat setempat untuk perahu
kayu kecil, menjadi transportasi umum keseharian kami untuk menjangkau
wilayah-wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sikakap. Jalanan perbukitan penuh
bebatuan, berlubang bahkan jalan dengan kubangan air saat hujan, mengharuskan
kami memiliki keberanian untuk mengendarai motor-motor tangguh, terasa off the
road. Untuk komunikasi, tak jarang kami harus berjalan 5 km “sekedar” untuk
mencari sinyal yang hilang timbul. Serta situasi dan kondisi lain yang mengeluarkan
kami dari zona nyaman, membuat kami sering disebut “orang gila”. Kegilaan yang
kami sadari dan kami menikmatinya.
Tanah
Sikakap, yang mengenalkan kami adat dan budaya baru di luar budaya suku kami
berasal, mengenalkan kami orang-orang baru, Kak Nyes, Kak Af, Kak Lastri, Kak
Rika,Kak Porsan, Bang Eky, Bang Yori, Bang Agus dan lainnya dengan latar
belakang, karakteristik serta dinamika kerja masing-masing. Petugas desa,
kepala dusun, kader-kader desa, serta masyarakat dengan perspektif kesehatan
masing-masing yang mengharuskan kami untuk tak henti melakukan pendekatan
personal maupun komunitas. Kami semakin sadar, akan ada banyak situasi menanti
kami di depan sana, yang mengharuskan kami berada pada posisi netral, tanpa
keberpihakan melainkan untuk kebermanfaatan rakyat, demi tercapainya misi MDGs,
alasan pertama kami berada disini.
-Ns.
Umi Hani, S.Kep-
No comments:
Post a Comment