Jumat,
4 Oktober 2013. Dengan
mendaratnya pesawat Lion Air Boeing 707 yang membawa saya beserta 4 rekan satu
tim atas nama Pencerah Nusantara Batch II, kaki ini sampai pula di Bumi Minang.
Pertama kali bagi kaki ini, pertama pula bagi saya naik pesawat. Kau tahu
bagaimana sensasinya? (Untung tidak dibully
teman-teman satu tim yang lain.. hehe) Kata orang, telinga sakit saat
pesawat mulai take off. Kata orang,
hidung harus ditutup untuk mengurangi rasa sakit. Ternyata tidak untuk saya, tak
ada rasa sakit seperti yang orang-orang ceritakan, hanya saya merasakan ketidaknyamanan
di kepala dan leher yang mengingatkan saya pada rasa sakit saat flu masa kecil
dulu.
“Negeri di atas awan” langsung terbersit dalam pikiran saya sepanjang
perjalanan melihat gumpalan-gumpalan awan dari jendela pesawat meski tak begitu
luas area pandang saya karena tempat duduk di tengah.
Dua orang PN Bacth
I Mentawai, Vidia dan Resti, menjemput kami di pintu kedatangan bandara
Minangkabau. Sebagai pendahulu yang sudah merasakan hidup satu tahun di Ranah Minang
ini, mereka berbagi banyak selama perjalanan kami dari bandara menuju
penginapan. Bercerita dari sinyal yang limited
edition di Kep. Mentawai, sampai makanan yang akan sering kita temui di
Mentawai nanti. Dua mobil APV mengantarkan kami beserta barang-barang ke sebuah
rumah mungil, kos-kosan teman mereka. Segera berganti baju, lebih tepatnya
kostum, kami langsung tancap gas dengan satu mobil tersisa menuju Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatra Barat. Setelah menunggu sekitar 30 menit, kami
dipertemukan dengan 3 personil Dinkes Prov Sumbar. Perkenalan dilanjutkan makan
soto Padang sebagai sajian Dinkes untuk kami, yang ternyata sajian yang sama
untuk PN Batch I, setahun silam.
Sambil menunggu
kapal yang menuju bumi Sikerei, Kecamatan Sikakap, Kab. Kep. Mentawai, kami
habiskan untuk membeli kebutuhan tim dan melakukan perjalanan observasi budaya
disekitar kota Padang. Dag dig dug .
Kami yakin akan ada sejuta cerita untuk setahun ke depan. Indah tidaknya cerita
itu, kami pula yang menentukan.
Rabu,
9 Oktober 2013. Kaki
ini benar-benar menginjakkan di tapaknya di bumi Sikerei, saat itu pula alam
mempertegas bahwa mulai hari ini dan setahun ke depan, aku akan hidup dengan
ala mini, dengan orang-orang ini, dengan kehidupan disini. Keramaian setiap hari
Rabu, hiruk pikuk Puskesmas setiap hari kerja, masak dan urusan rumah tangga
lain, juga kehidupan satu atap dengan keluarga baru. Mulai sore ini dan
seterusnya, akan terbiasa dengan cuaca hujan di malam hari, dengan lolongan
anjing dan jangkrik saat matahari mulai terbenam. Terbiasa pula dengan sinyal
yang terputus, serta berbagai kehidupan lain. Mulai hari ini, cerita baru akan
dimulai Mulai hari ini, kehidupan baru akan tertulis. Indah tidaknya, kami pula
yang menentukan. Bismillah… tawakkalna ‘alallah.
Sabtu,
12 Oktober 2013.
Hari ke-3 kaki
ini menapak di Bumi Sikerei. Aku menemukan “pulau yang hilang”. Pulau yang tiga
hari ini aku dan kawan-kawaku tempati, pulau yang membuatku dan rekan-rekan
yang lain harus bersahabat dengan alam. Tampak dari seberang pulau ini, dari Pagai
Selatan, pulauku tampak hilang, tertutup hujan lebat, terselimuti kabut
temaram. Sebongkah Bumi Sikereiku seperti bersembunyi dari kerumunan kota,
menyembunyikan bahwa dibalik kabut tebal itu, ada kehidupan.
Pemandangan Pagai Utara dari Pagai Selatan. |
Menanti Hujan Reda dari Tepi Pagai Selatan. |
Bersama tiga
temanku, aku menyusuri jalanan panjang. Setidaknya bagiku seperti jalan tak
berujung, jalan yang membawa kami ke bongkahan lain Bumi Sekerei, kehidupan
lain yang tertutup oleh jalanan panjang, becek karena hujan, berlubang, jalanan
panjang yang membuat kami beberapa kali terpeleset, beberapa kali terperosok,
beberapa kali aku memejamkan mata, dan sesekali bagiku menahan napas, berpikir
perlu keseimbangan untuk tidak terjatuh dari boncengan oto (sebutan bagi sepeda motor). Melewati jalan itu, mungkin tepat
utuk berdecak “kagum”, bahwa ternyata jalan ini berujung sebuah kehidupan, kehidupan
masyarakat Mentawai. Rumah-rumah kayu berkolong, meski hanya sepetak, meski air
mereka “sekedar” tampungan air hujan, dengan bahan makanan seadanya, pun sarana
kesehatan seadanya, tapi ada bahagia disana. Mungkin. Mereka… mungkin ibarat
kupu-kupu bersayap kuat usai terbebas dari kulit kepompongnya, Kuat karena ia
berjuang dengan kekuatannya. Tidak dengan kupu-kupu yang keluar dengan bantuan
untuk terbebas dari kepompong. Ya.. toh mereka sanggup hidup bertahun-tahun di
dusun Rara Joja itu, dengan berladang, dengan air seadanya, dengan akses
seadanya. Meski bagiku, terpikir bagaimana gizi para anak-anak, bagaimana
pendidikan para calon generasi penerus bangsa, bagaimana ekonomi untuk
menghidupi para anak-anak Indonesia. Mengenalkah mereka dengan teknologi,
mengenalkah mereka dengan makanan sehat, mengenalkah mereka dengan sisi lain
dari Negara mereka?
Pinatektek, Bakat
Monga, Bukku Monga, RaraJoja, Malakopak, dan desa-desa lain akan menjadi
pijakan selanjutnya bagiku setahun ke depan. Tak banyak yang ingin aku perbuat
kecuali sesuatu untuk mereka, mengenalkan Indonesia, membentuk generasi
Indonesia yang sehat untuk Indonesia yang lebih tangguh, tentu tanpa
melenyapkan identitas mereka di Bumi Sikerei ini.
-Ns. Umi Hani,
S.Kep-
No comments:
Post a Comment