Monday, 21 April 2014

OKTOBER, ONE YEAR FOR UNFORGOTABLE MOMENT



Jumat, 4 Oktober 2013. Dengan mendaratnya pesawat Lion Air Boeing 707 yang membawa saya beserta 4 rekan satu tim atas nama Pencerah Nusantara Batch II, kaki ini sampai pula di Bumi Minang. Pertama kali bagi kaki ini, pertama pula bagi saya naik pesawat. Kau tahu bagaimana sensasinya? (Untung tidak dibully teman-teman satu tim yang lain.. hehe) Kata orang, telinga sakit saat pesawat mulai take off. Kata orang, hidung harus ditutup untuk mengurangi rasa sakit. Ternyata tidak untuk saya, tak ada rasa sakit seperti yang orang-orang ceritakan, hanya saya merasakan ketidaknyamanan di kepala dan leher yang mengingatkan saya pada rasa sakit saat flu masa kecil dulu.
 “Negeri di atas awan”  langsung terbersit dalam pikiran saya sepanjang perjalanan melihat gumpalan-gumpalan awan dari jendela pesawat meski tak begitu luas area pandang saya karena tempat duduk di tengah.
Dua orang PN Bacth I Mentawai, Vidia dan Resti, menjemput kami di pintu kedatangan bandara Minangkabau. Sebagai pendahulu yang sudah merasakan hidup satu tahun di Ranah Minang ini, mereka berbagi banyak selama perjalanan kami dari bandara menuju penginapan. Bercerita dari sinyal yang limited edition di Kep. Mentawai, sampai makanan yang akan sering kita temui di Mentawai nanti. Dua mobil APV mengantarkan kami beserta barang-barang ke sebuah rumah mungil, kos-kosan teman mereka. Segera berganti baju, lebih tepatnya kostum, kami langsung tancap gas dengan satu mobil tersisa menuju Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Barat. Setelah menunggu sekitar 30 menit, kami dipertemukan dengan 3 personil Dinkes Prov Sumbar. Perkenalan dilanjutkan makan soto Padang sebagai sajian Dinkes untuk kami, yang ternyata sajian yang sama untuk PN Batch I, setahun silam.
Sambil menunggu kapal yang menuju bumi Sikerei, Kecamatan Sikakap, Kab. Kep. Mentawai, kami habiskan untuk membeli kebutuhan tim dan melakukan perjalanan observasi budaya disekitar kota Padang. Dag dig dug . Kami yakin akan ada sejuta cerita untuk setahun ke depan. Indah tidaknya cerita itu, kami pula yang menentukan.
Rabu, 9 Oktober 2013. Kaki ini benar-benar menginjakkan di tapaknya di bumi Sikerei, saat itu pula alam mempertegas bahwa mulai hari ini dan setahun ke depan, aku akan hidup dengan ala mini, dengan orang-orang ini, dengan kehidupan disini. Keramaian setiap hari Rabu, hiruk pikuk Puskesmas setiap hari kerja, masak dan urusan rumah tangga lain, juga kehidupan satu atap dengan keluarga baru. Mulai sore ini dan seterusnya, akan terbiasa dengan cuaca hujan di malam hari, dengan lolongan anjing dan jangkrik saat matahari mulai terbenam. Terbiasa pula dengan sinyal yang terputus, serta berbagai kehidupan lain. Mulai hari ini, cerita baru akan dimulai Mulai hari ini, kehidupan baru akan tertulis. Indah tidaknya, kami pula yang menentukan. Bismillah… tawakkalna ‘alallah.

Sabtu, 12 Oktober 2013. Hari ke-3 kaki ini menapak di Bumi Sikerei. Aku menemukan “pulau yang hilang”. Pulau yang tiga hari ini aku dan kawan-kawaku tempati, pulau yang membuatku dan rekan-rekan yang lain harus bersahabat dengan alam. Tampak dari seberang pulau ini, dari Pagai Selatan, pulauku tampak hilang, tertutup hujan lebat, terselimuti kabut temaram. Sebongkah Bumi Sikereiku seperti bersembunyi dari kerumunan kota, menyembunyikan bahwa dibalik kabut tebal itu, ada kehidupan. 
Pemandangan Pagai Utara dari Pagai Selatan.



 
Menanti Hujan Reda dari Tepi Pagai Selatan.
 
Bersama tiga temanku, aku menyusuri jalanan panjang. Setidaknya bagiku seperti jalan tak berujung, jalan yang membawa kami ke bongkahan lain Bumi Sekerei, kehidupan lain yang tertutup oleh jalanan panjang, becek karena hujan, berlubang, jalanan panjang yang membuat kami beberapa kali terpeleset, beberapa kali terperosok, beberapa kali aku memejamkan mata, dan sesekali bagiku menahan napas, berpikir perlu keseimbangan untuk tidak terjatuh dari boncengan oto (sebutan bagi sepeda motor). Melewati jalan itu, mungkin tepat utuk berdecak “kagum”, bahwa ternyata jalan ini berujung sebuah kehidupan, kehidupan masyarakat Mentawai. Rumah-rumah kayu berkolong, meski hanya sepetak, meski air mereka “sekedar” tampungan air hujan, dengan bahan makanan seadanya, pun sarana kesehatan seadanya, tapi ada bahagia disana. Mungkin. Mereka… mungkin ibarat kupu-kupu bersayap kuat usai terbebas dari kulit kepompongnya, Kuat karena ia berjuang dengan kekuatannya. Tidak dengan kupu-kupu yang keluar dengan bantuan untuk terbebas dari kepompong. Ya.. toh mereka sanggup hidup bertahun-tahun di dusun Rara Joja itu, dengan berladang, dengan air seadanya, dengan akses seadanya. Meski bagiku, terpikir bagaimana gizi para anak-anak, bagaimana pendidikan para calon generasi penerus bangsa, bagaimana ekonomi untuk menghidupi para anak-anak Indonesia. Mengenalkah mereka dengan teknologi, mengenalkah mereka dengan makanan sehat, mengenalkah mereka dengan sisi lain dari Negara mereka?
Pinatektek, Bakat Monga, Bukku Monga, RaraJoja, Malakopak, dan desa-desa lain akan menjadi pijakan selanjutnya bagiku setahun ke depan. Tak banyak yang ingin aku perbuat kecuali sesuatu untuk mereka, mengenalkan Indonesia, membentuk generasi Indonesia yang sehat untuk Indonesia yang lebih tangguh, tentu tanpa melenyapkan identitas mereka di Bumi Sikerei ini.

-Ns. Umi Hani, S.Kep-



No comments:

Post a Comment