REFLEKSI
“Those things that hurt, instruct”-“Hal-hal yang
melukai, mengajar” – Benjamin Franklin
Enam bulan sudah
lima pasang kaki menapak tanah Sikakap. Semakin banyak yang menjadi
pembelajaran dalam episode kami sebagai Pencerah Nusantara. Enam bulan lagi
yang tersisa. Satu per satu aksi nyata telah coba kami mulai. Aksi yang menguji kelapangan hati kami untuk tetap
menundukkan wajah, malu atas masih sedikitnya momentum yang kami buat dibanding
banyaknya peluang yang kami hadapi.
Satu demi satu
masalah tampak terbuka lebih jelas di depan mata kami pun menguji kami untuk
tidak lantas menyalahkan situasi melainkan berpikir untuk sebuah aksi nyata
demi sebuah kata PERUBAHAN. Kondisi mengajarkan
kami untuk berbuat tanpa merasa menjadi pihak paling benar. Kondisi yang
menuntut kami untuk berpikir tanpa merasa menjadi sisi yang paling tahu
segalanya.
Sebagai warga
pendatang, adalah tantangan yang kami sadar untuk kami maklumi atas segala
adat, kebiasaan, budaya, keyakinan, dan berbagai pola pikir masyarakat sebagai
satu kesatuan bola salju atas berbagai permasalahan yang nyata disini.
Enam bulan,
cukup membuat kami malu. Malu atas berbagai hal yang kami sebut sebagai masalah
saat awal penempatan. Malu atas sedikit
rasa jijik yang muncul saat melihat anak berbadan kecil, berambut pirang bukan
karena gen yang dibawanya, tapi mungkin karena sengatan matahari, kulit kehitaman tampak bersisik dan
belepotan kotor tanah liat, berjalan tanpa sandal, memikul keranjang di
punggung kecilnya, menatap nanar kami seperti meminta belas kami dalam tawa
mereka. Malu saat dulu kami mengatakan diri kami sebagai pecinta anak-anak,
tapi merasa risih untuk menyentuh mereka. Dan hingga enam bulan ini, kami belum
mampu mengubah pola hidup mereka dikala
mereka seharian tanpa ayah ibu karena bekerja di ladang. Kami pun tak mampu mengatakan mereka berpola hidup
salah.
Enam bulan yang
membuat kami malu atas masih tersianya
seorang anak berusia 2 tahun bernama Rusti yang masih belum mendapatkan
pelayanan kesehatan sebagaimana seharusnya, “hanya” karena sikap orang tua yang
“pasrah” dengan kondisi jauh dari semestinya.
Enam bulan yang
membuat kami sadar pula, bahwa kami hanya ingin membuka mata masyarakat di
tanah rantau ini, memperkenalkan dunia pada mereka, memperlihatkan keindahan dunia
mereka jika sama-sama menjaganya. Memantik api semangat untuk orang-orang yang
memang layak menjadi perpanjagan tangan Negara untuk mempertemukan peluang dan
momentum untuk sebuah perubahan nyata menjadi masyarakat yang lebih sadar
kesehatan.
Enam bula pula yang
menjadikan lima hati semakin mengenal, semakin meminta untuk saling memahami
kegilaan masing-masing. Ya. Menyadari sebagai orang-orang gila yang hadir untuk
membaca situasi, mencoba menggambarkan dalam kanvas keindahan, kemudian
menatanya menjadi satu ruang dalam
kehidupan yang lebih tertata. Orang-orang gila yang meninggalkan zona nyaman
untuk sebuah kondisi yang menuntut kami untuk membaca saat berjalan, menulis
saat menyusur sungai, melukis saat menyelami lautan.
Kami mulai
‘biasa’ dengan jalan tanpa aspal, menembus lautan 12 jam, berjalan di medan
terjal bahkan harus menjadi “biasa” pula
bagi kami saat setiap kegiatan posyandu bulanan
puskesmas yang kami ikuti, tak jarang menemui bayi-bayi yang hampir kehilangan
haknya untuk tumbuh dan berkembang
sebagaimana semestinya, bukan
sebagaimana biasanya dalam persepsi orang tua mereka. Tak jarang pula kami
temui, anak-anak balita yang mesti mengikuti “keegoisan” orang tua mereka,
kesibukan berladang, rutinitas kehidupan dan penghidupan, serta realita pola
asuh yang hanya bisa kami tatap, yang sedikit banyak mulai menjadikan kami
gerah. Gerah untuk “sekedar” memberi penyuluhan bayi sehat, penyuluhan makanan
sehat untuk anak berdasar sumber daya local, sekedar “memohon” kepada orang tua
untuk memeriksakan lebih lanjut anaknya yang gizi buruk atau bahkan anak-anak
dengan Development Delay Syndrome yang harus dijudge oleh orang tua mereka sebagai hal “biasa” pun jika kematian
menjadi akhir cerita untuk mereka. Berkali-kali menjelaskan, memohon, dan
menawarkan, pun berkali-kali tak diindahkan untuk dikabulkan. Sebatas itu pula
ruang gerak kami untuk menyentuh mereka..
Namun, “biasa” ini belum cukup
menjadikan kami terbiasa dengan segala kondisi dan kinerja rekan sasaran.
“Biasa” yang belum cukup membiasakan kami untuk bertindak “memodifikasi”
arus, bukan mengikuti maupun melawan
arus yang kami temui.
Kami sadar betul,
bahwa meski kami bisa “memperbaiki” segala keadaan dengan kemampuan kami, namun
bukan itu yang kami inginkan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap permasalahan
yang ditemui, kepedulian lintas sector dalam setiap kendala yang dihadapi dalam
mencapai komunitas yang sejahtera, serta berbagai tahap pemberdayaan masyarakat
untuk kesejahteraan masyarakat, adalah sebuah keniscayaan bagi kami, selama
kami bertahan untuk mengupayakan pengorganisasian dua arah, ring 1-Puskesmas,
dan ring 2-masyarakat. Doakan negeri ini agar lebih banyak yang mau
#turuntangan.