Friday, 19 September 2014

Pencerah Nusantara Batch 3: Cinta Tanpa Syarat dan Cinta Penuh Semangat

Ini kali pertamanya kami menginjakan kaki di kepulauan mentawai. Pulau yang sejak satu bulan yg lalu selalu ada dalam hembusan nafas, otak dan mimpi kami. Berlebihan memang, tp kecintaan kami terhadap pulau ini agaknya mulau merasuki kami ketika pertama kalinya kami mulai mengikuti training persiapan Pencerah Nusantara 3. Pulau yg selalu kami gaungkan namanya, pulau yg selalu kami teriakkan dalam semangat kami, juga sebuah nama yg menjadi icon kebanggaan team kami. Yg ketika namanya disebut, jiwa kami terpanggil menggerakan seluruh anggota tubuh kami, otak kami secara otomatis berkerja dan semangat kami mendadak jd terbakar. Ya inilah kami yg penuh semangat..

Kini kami berdiri dengan tegak diatas pulau ini dengan rasa kebanggan dan haru. Bangga karena kami bagian dari negeri ini. Haru karena ternyata kami mampu buktikan rasa cinta kami pada negeri ini. Inilah kami sebagai sebuah team yg kokoh dan penuh semangat.. Zeinny Risanawati Binulang, Zakiyyah Ahsanti R, LiskaNurjannah, Nurmalasari,dan IlhamRusting.. lima orang pemuda yg siap membuktikan rasa cintanya kepada negeri ini..

Cinta tanpa syarat dan Cinta penuh semangat, Membangun Indonesia Sehat :)

Wednesday, 17 September 2014

Andai Bukan Disini..... Sikakap, the City of Mentawai



Di tengah tumpukan sejumlah laporan akhir yang sepertinya sudah mulai transfering ke otak, di tengah angka-angka yang sepertinya mulai membayangi analis survey tim kami, Minggu menjadi hari yang cukup “berarti” untuk dokter kami. Seorang pasien yang beberapa hari lalu sempat pulang APS (Atas Permintaan Sendiri) alias pulang paksa, istilah bagi tenaga medis untuk pasien yang meminta pulang sebelum diijinkan dokter untuk meninggalkan rawat inap. Ia seorang lelaki paruh baya 40 tahunan, terdiagnosa CKD (Chronic Kidney Desease) dengan encephalophaty, pastinya berdasarkan temuan klinis - tentu saja karena disini tak ada pemeriksaan penunjang apapun yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagosa. Kondisi pasien yag gelisah, marah-marah, napas tampak tersengal-sengal, sianosis (pucat), memungkinkan pasien mengalami asidosis-kondisi dikarenakan ketidakseimbangan elektrolit dalam darah. Permasalahan klinis yang sebenarnya sangat mudah ditangani, hmm.., setidaknya kemungkinan teratas sangat besar jika di tempat lengkap fasilitas. Hemodialisis. Alias cuci darah, cukup satu tindakan utama untuk pasien bisa bertahan. Sayangnya, hari ini Minggu di Bulan September, kapal yang biasanyadatang 2x seminggu hari ini tidak masuk karena mulai bulan ini hanya masuk satu kali seminggu, hari Rabu. Mungkin pasien ini yang kurang beruntung, karena kondisi perburukan tepat hadir di hari ini. Hari yang membuatnya tak bisa dirujuk kemanapun kecuali tersedia minimal Rp 10 juta untuknya bisa dirujuk dengan boat mandiri. Tak ada yang bisa disesalkan, karena memang begini kondisinya. Andai bukan di Mentawai, tubuhnya mungkin tak akan mudah berdarah akibat asidosis dengan ureum creatinin yang mungkin sudah melewati ambang batas. Advis konsulan untuk memberinya CaCo3 dan folic acid pun kami tak punya. Jika bukan di Mentawai, mungkin pasien tak perlu begitu menderita karena anoreksia dan segala gejala klinis yang muncul. Jika bukan di Mentawai, mungkin asidosis nya tak begitu berat karena tindakan HD atau CAPD bisa langsung dilakukan. Jika bukan di Mentawai...
Wajah kusut dokter kami, di tengah rehatnya untuk makan siang (sekaligus sarapan bagi kami), sangat tampak memperagakan bagaimana pasien bernapas saat ini. Ia hanya menyesalkan situasi yang membuatnya tak bisa berbuat apapun kecuali menunggu waktu. Menyesalkan konsulen yang tak bisa dihubungi, mungkin masalah signal, menyesalkan obat-obatan yang tak semuanya tersedia untuk setidaknya mengurangi perburukan sambil menunggu persentase kemungkinan merujuk pasien bertambah meski berapa persen saja.  Mungkin juga menyesalkan diri yang belum mampu membantu pasien untuk menambah dzikrullah. Ya.. ini yang ingin saya hikmahkan dalam tulisan ini. Dalam situasi biasa, mungkin hal ini menjadi biasa untuk tidak begitu memperhatikan QOL (Quality of Life) pasien. Disini, pasien dengan agama Islam, adalah saudara kami dalam kalangan minoritas. Dan adalah keinginan besar kami sebagai saudara seiman yang mengharapkan keimanan menjadi akhir dari hidupnya. Dokter kami tak berhasil membuatnya beristigfar. Pasien hanya mengerang kesakitan dan mengeluh di tengah kondisi perburukannya. “Yang membuat saya miris tu, betapa pasien di sampingnya  ramai dikunjungi dan didampingi anak-anaknya, sementara ia... hanya berdua dengan istrinya. Rasanya ingin meminta istri ini untuk istirahat karena 4 hari tak bisa istirahat dengan kondisi suaminya di rumah” Ungkap dokter kami dalam ekspresi khasnya, mengelus dada dan menelan ludah.
Ya, di luar kondisinya yang demikian memburuk, saya juga baru sadar hari ini tak seperti biasanya. Puskesmas Sikakap, biasanya langsung penuh dengan orang se dusun jika ada warganya yang dirawat. Bahkan berita kematian pernah beredar sebelum pasien dinyatakan meninggal, demikian kuatnya persaudaraan muslim saat itu saya lihat. Tapi tidak hari ini. Saya tak melihat seorang pun mengunjunginya kecuali sang istri yang wajahnya mulai seperti bingung menghadapi kondisi suami. Anak-anaknya yang masih sekolah di luar pulau, dan ia yang masih menjadi tulang punggung keluarga. Kini, dokter kami hanya berharap yang terbaik. Tanpa treatment yang berarti, tentunya dengan harapan ia dipermudah jika memang kondisi sekarang karena kesalahan selama hidupnya, seperti di ceritakan tetangga setempat yang kurang berkenan.
Sungguh, ini membuat tamparan untuk kami. Bahwa semapan apapun, segigih apapun kita hidup, suatu hari kita akan terbaring tak berdaya, hanya mengharapkan bantuan dan doa dari tetangga, masyarakat, saudara. Mungkin ini yang ustadz sering katakan, perbaiki ibadah dalam hubungan hablumminallah, dan baik-baiklah bermmasyarakat untuk hubungan hablumminannas...
Semoga Allah masih menyisihkan kasih-Nya untuk pasien, dimudahkan menuju taqdirnya yang terbaik.

Bumi Sikakap, 7 September 2014, 23 hari menuju perpisahan itu.

Sunday, 14 September 2014

Crops of PN2 Mentawai ... "Mentawai I'm in Love..!!"

 Long march bersama adik-adik Sahabat Remaja Mentawai dalam rangka World AIDS Day 1 Desember 2014
 Here we are....
Sahabat Remaja Mentawai
 First time saya melihat anak-anak PAUD di Mentawai.. Masabuk, Desa Sikakap
 Posyandu Balita mereka ... kader cukup aktif dan mengaktifkan posyandu :-)
 Bermain bersama anak dusun... Moms Day. 22 Desember 2013, Panatarat, Desa Matobe
 First time, berllima dalam satu kamar ukuran 2x2 .m.. (kamar kapal antar pulau..)
Bersama Anak-anak dusun Taikako Hulu











 "The miracle of Life".. tak perlu mencari jauh keajaiban... disini pun banyak keajaiban itu...
 Wajah penuh harap... "Anak Dusun"
membuat kami bersyukur, Tuhan memenuhi hak kami memberi lingkungan yang membuat kami tumbuh dan berkembang ... hingga menjadi hebat karena diri dan "lingkungan"
" Bahagia itu sederhana..."



 Bersama dukun bayi dalam program "Kemitraan Bidan dengan Dukun Bayi"
 Indah selama keindahan yang kita ciptakan dalam fikir....
 Kelas Ibu Hamil.... langkah kecil untuk masa depan generasi terdepan
 Dalam batas keindahan
 "Keluarga Baru" kami.... orang asing bisa sekental darah...

“Sahabat” Mentawai




Pertengahan Januari 2014, yang berarti tersisa 7 bulan aktif bagi kami untuk menuai sesuatu di bumi Sikerei. Belum banyak yang kami lakukan, belum banyak pula yang bisa kami tinggalkan. Mungkin, kami terlalu disibukkan dengan berbagai kompromi terhadap jati diri yang tak semestinya kami jadikan excuse dalam setiap kelalaian dalam berencana dan bertindak. Mungkin… memang kami yang belum mampu merangkul target kerja, atau target kerja yang belum mampu menjadikan kami sedekat vena jugularis. Yang pasti, memasuki bulan ke-empat, maka Puskesmas, UGD, pasar, medan perairan dan boat, medan terjal  dan motor, satu per satu sudah mulai menjadi sahabat kami dalam menjalani kehidupan, menjadi hal “biasa” bagi kami. Mulai menjadi hal wajar yang tak terhitung bagi kami para pemuda/i yang mencoba menamai diri orang-orang gila yang keluar dari zona nyaman kami masing-masing. “Biasa” yang belum cukup menjadikan kami terbiasa dengan segala kondisi dan kinerja rekan sasaran. “Biasa” yang belum cukup membiasakan kami untuk bertindak “memodifikasi” arus,  bukan mengikuti maupun melawan arus yang kami temui.
Adalah harus menjadi “biasa” pula bagi kami saat ini, saat setiap kegiatan posyandu bulanan Puskesmas yang kami ikuti, tak jarang menemui bayi-bayi yang hampir kehilangan haknya untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana semestinya, bukan sebagaimana biasanya dalam persepsi orang tua mereka. Tak jarang pula kami temui, anak-anak balita yang mesti mengikuti “keegoisan” orang tua mereka, kesibukan berladang, rutinitas kehidupan dan penghidupan, serta realita pola asuh yang hanya bisa kami tatap, yang sedikit banyak mulai menjadikan kami gerah. Gerah untuk “sekedar” memberi penyuluhan bayi sehat, penyuluhan makanan sehat untuk anak berdasar sumber daya local, sekedar “memohon” kepada orang tua untuk memeriksakan lebih lanjut anaknya yang gizi buruk atau bahkan anak-anak dengan Development Delay Syndrome yang harus dijudge oleh orang tua mereka sebagai hal “biasa” pun jika kematian menjadi akhir cerita untuk mereka. Berkali-kali menjelaskan, memohon, dan menawarkan, pun berkali-kali tak diindahkan untuk dikabulkan. Sebatas itu pula ruang gerak kami untuk menyentuh mereka. Kami sadar betul, bahwa meski kami bisa “memperbaiki” segala keadaan dengan kemampuan kami, namun bukan itu yang kami inginkan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap permasalahan yang ditemui, kepedulian lintas sector dalam setiap kendala yang dihadapi dalam mencapai komunitas yang sejahtera, serta berbagai tahap pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, adalah sebuah keniscayaan bagi kami, selama kami bertahan untuk mengupayakan pengorganisasian dua arah, ring 1-Puskesmas, dan ring 2-masyarakat. [MH]

Bumi Sikakap
18 Januari 2014, 00:24


Menapak Tengah Tahun



REFLEKSI
“Those things that hurt, instruct”-“Hal-hal yang melukai, mengajar” – Benjamin Franklin

Enam bulan sudah lima pasang kaki menapak tanah Sikakap. Semakin banyak yang menjadi pembelajaran dalam episode kami sebagai Pencerah Nusantara. Enam bulan lagi yang tersisa. Satu per satu aksi nyata telah coba kami mulai. Aksi  yang menguji kelapangan hati kami untuk tetap menundukkan wajah, malu atas masih sedikitnya momentum yang kami buat dibanding banyaknya peluang yang kami hadapi.
Satu demi satu masalah tampak terbuka lebih jelas di depan mata kami pun menguji kami untuk tidak lantas menyalahkan situasi melainkan berpikir untuk sebuah aksi nyata demi sebuah kata PERUBAHAN. Kondisi mengajarkan kami untuk berbuat tanpa merasa menjadi pihak paling benar. Kondisi yang menuntut kami untuk berpikir tanpa merasa menjadi sisi yang paling tahu segalanya.
Sebagai warga pendatang, adalah tantangan yang kami sadar untuk kami maklumi atas segala adat, kebiasaan, budaya, keyakinan, dan berbagai pola pikir masyarakat sebagai satu kesatuan bola salju atas berbagai permasalahan yang nyata disini.
Enam bulan, cukup membuat kami malu. Malu atas berbagai hal yang kami sebut sebagai masalah  saat awal penempatan. Malu atas sedikit rasa jijik yang muncul saat melihat anak berbadan kecil, berambut pirang bukan karena gen yang dibawanya, tapi mungkin karena sengatan  matahari, kulit kehitaman tampak bersisik dan belepotan kotor tanah liat, berjalan tanpa sandal, memikul keranjang di punggung kecilnya, menatap nanar kami seperti meminta belas kami dalam tawa mereka. Malu saat dulu kami mengatakan diri kami sebagai pecinta anak-anak, tapi merasa risih untuk menyentuh mereka. Dan hingga enam bulan ini, kami belum mampu mengubah  pola hidup mereka dikala mereka seharian tanpa ayah ibu karena bekerja di ladang. Kami pun  tak mampu mengatakan mereka berpola hidup salah.
Enam bulan yang membuat kami malu atas  masih tersianya seorang anak berusia 2 tahun bernama Rusti yang masih belum mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana seharusnya, “hanya” karena sikap orang tua yang “pasrah” dengan kondisi jauh dari semestinya.
Enam bulan yang membuat kami sadar pula, bahwa kami hanya ingin membuka mata masyarakat di tanah rantau ini, memperkenalkan dunia pada mereka, memperlihatkan keindahan dunia mereka jika sama-sama menjaganya. Memantik api semangat untuk orang-orang yang memang layak menjadi perpanjagan tangan Negara untuk mempertemukan peluang dan momentum untuk sebuah perubahan nyata menjadi masyarakat yang lebih sadar kesehatan.
Enam bula pula yang menjadikan lima hati semakin mengenal, semakin meminta untuk saling memahami kegilaan masing-masing. Ya. Menyadari sebagai orang-orang gila yang hadir untuk membaca situasi, mencoba menggambarkan dalam kanvas keindahan, kemudian menatanya menjadi satu  ruang dalam kehidupan yang lebih tertata. Orang-orang gila yang meninggalkan zona nyaman untuk sebuah kondisi yang menuntut kami untuk membaca saat berjalan, menulis saat menyusur sungai, melukis saat menyelami lautan.
Kami mulai ‘biasa’ dengan jalan tanpa aspal, menembus lautan 12 jam, berjalan di medan terjal bahkan  harus menjadi “biasa” pula bagi kami  saat setiap kegiatan posyandu bulanan puskesmas yang kami ikuti, tak jarang menemui bayi-bayi yang hampir kehilangan haknya untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana semestinya, bukan sebagaimana biasanya dalam persepsi orang tua mereka. Tak jarang pula kami temui, anak-anak balita yang mesti mengikuti “keegoisan” orang tua mereka, kesibukan berladang, rutinitas kehidupan dan penghidupan, serta realita pola asuh yang hanya bisa kami tatap, yang sedikit banyak mulai menjadikan kami gerah. Gerah untuk “sekedar” memberi penyuluhan bayi sehat, penyuluhan makanan sehat untuk anak berdasar sumber daya local, sekedar “memohon” kepada orang tua untuk memeriksakan lebih lanjut anaknya yang gizi buruk atau bahkan anak-anak dengan Development Delay Syndrome yang harus dijudge oleh orang tua mereka sebagai hal “biasa” pun jika kematian menjadi akhir cerita untuk mereka. Berkali-kali menjelaskan, memohon, dan menawarkan, pun berkali-kali tak diindahkan untuk dikabulkan. Sebatas itu pula ruang gerak kami untuk menyentuh mereka..  Namun,  “biasa” ini belum cukup menjadikan kami terbiasa dengan segala kondisi dan kinerja rekan sasaran. “Biasa” yang belum cukup membiasakan kami untuk bertindak “memodifikasi” arus,  bukan mengikuti maupun melawan arus yang kami temui.
Kami sadar betul, bahwa meski kami bisa “memperbaiki” segala keadaan dengan kemampuan kami, namun bukan itu yang kami inginkan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap permasalahan yang ditemui, kepedulian lintas sector dalam setiap kendala yang dihadapi dalam mencapai komunitas yang sejahtera, serta berbagai tahap pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, adalah sebuah keniscayaan bagi kami, selama kami bertahan untuk mengupayakan pengorganisasian dua arah, ring 1-Puskesmas, dan ring 2-masyarakat. Doakan negeri ini agar lebih banyak yang mau #turuntangan.